Gelombang besar baju thrifting kembali menjadi sorotan setelah terungkap bahwa sekitar 3.600 ton pakaian bekas impor masuk ke pasar Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Fenomena ini bukan sekadar soal tren busana murah, namun juga memunculkan perdebatan luas tentang ekonomi kreatif, kesehatan konsumen, hingga dampak terhadap pelaku usaha lokal.
Di berbagai kota besar, mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, hingga Makassar, penjual baju thrifting menawarkan koleksi pakaian bermerek dengan harga terjangkau. Para pemburu mode dari kalangan remaja hingga pekerja kreatif berlomba-lomba menemukan “hidden gems” seperti jaket vintage, hoodie edisi langka, hingga jeans kualitas premium. Mereka memandang bahwa baju thrifting bukan hanya tentang belanja hemat, tetapi juga bagian dari gaya hidup baru yang menekankan keunikan dan keberlanjutan.
Namun di sisi lain, arus masuk baju thrifting dalam jumlah besar memunculkan kekhawatiran bagi pengusaha konveksi dan UMKM lokal. Para pelaku usaha fesyen lokal merasa pasar kian sesak. Produk baru dengan desain orisinal jadi harus bersaing ketat dengan baju thrifting impor berharga murah. Di tengah kondisi seperti ini, peran pemerintah diperlukan untuk menata regulasi agar tetap ada ruang tumbuh bagi industri lokal tanpa mematikan minat kreativitas pasar.
Sebuah sudut pandang lain muncul dari kalangan pecinta lingkungan. Menurut mereka, baju thrifting sebenarnya membantu mengurangi limbah tekstil global. Di era yang serba cepat, tren fesyen berubah dalam hitungan minggu, menyebabkan produksi pakaian massal terus meningkat. Dengan membeli baju thrifting, konsumen dianggap mendukung siklus pemakaian ulang dan menekan produksi sampah pakaian. Sudut inilah kemudian menjadi narasi positif yang banyak digaungkan komunitas thrift.
Meski begitu, ada pula sejumlah risiko yang perlu diperhatikan, seperti potensi penyebaran bakteri serta pakaian tidak steril. Konsumen disarankan mencuci ulang baju thrifting secara maksimal atau menggunakan metode dry clean agar lebih higienis sebelum dipakai. Kualitas barang pun beragam, sehingga pembeli perlu teliti saat memilih.
Di tengah perdebatan ini, pergerakan menuju peningkatan kapasitas ekonomi nasional terus berlangsung. Banyak pihak berharap agar dinamika baju thrifting ini bisa diarahkan ke kebijakan yang mendorong kreativitas, keberlanjutan, dan pemberdayaan pelaku usaha lokal menuju Indonesia emas.
Beberapa pengusaha lokal bahkan mulai memadukan konsep baju thrifting dengan sentuhan desain ulang. Model bisnis semacam ini dikenal dengan istilah upcycle fashion, dimana pakaian bekas diberi aksen baru, dipotong ulang, atau diberi grafis tambahan sehingga tampil segar dan memiliki nilai seni. Tren ini menarik karena mampu menghubungkan pasar thrift dengan kreativitas anak muda dan potensi industri kreatif dalam negeri. Dari sudut pandang ekonomi kreatif, langkah tersebut bisa menjadi jembatan menuju Indonesia emas dalam konteks pemberdayaan generasi baru.
Selain itu, muncul pula pasar-pasar baru yang lebih terorganisir, seperti event thrift festival, bazar tematik, hingga platform digital khusus baju thrifting. Aktivitas ini memberikan ruang sosial bagi anak muda untuk bertemu, berdiskusi, dan menciptakan koneksi baru. Pasar menjadi bukan hanya tempat transaksi, tapi juga ruang budaya.
Tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah, pelaku pasar, dan masyarakat bisa menjaga keseimbangan antara kebebasan berkreasi dan perlindungan industri lokal. Baju thrifting sudah menjadi bagian dari denyut gaya hidup urban saat ini. Namun, tanpa pengelolaan tepat, pasar lokal bisa tergerus, dan kesehatan konsumen terabaikan. Dengan penataan regulasi yang lebih jelas, edukasi konsumen yang merata, dan dukungan pada inovasi UMKM, Indonesia berpeluang menjadikan tren ini sebagai kekuatan, bukan ancaman.
Pada akhirnya, kehadiran 3.600 ton baju thrifting ini menjadi cermin dinamika ekonomi dan gaya hidup masyarakat. Ada sisi positif, ada sisi menantang. Indonesia punya ruang besar untuk menavigasi semua itu sebagai kesempatan membangun industri mode kreatif yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan menuju Indonesia emas yang lebih matang secara ekonomi, budaya, dan identitas mode.
