Indonesia pernah bermimpi memiliki Generasi Emas 2045: generasi produktif, sehat, kreatif, dan mampu bersaing di tingkat global. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul bayangan besar di balik mimpi tersebut krisis kesehatan mental yang semakin nyata. Di berbagai kota hingga daerah, banyak pihak mulai menyadari bahwa kondisi mental anak Indonesia berada pada titik rawan. Tekanan akademik, gempuran media sosial, pola asuh yang kaku, dan kurangnya ruang aman untuk mengekspresikan perasaan menjadi beberapa faktor penyebab utama.
Di tengah geliat ekonomi digital dan harapan besar untuk mencetak inovator masa depan, kita justru melihat peningkatan kasus depresi dan stres pada anak sekolah. Guru sering menemukan siswa tampak hadir secara fisik, namun mentalnya lelah. Kondisi mental anak Indonesia menjadi pembahasan penting karena bukan sekadar masalah psikologis, tetapi juga berhubungan langsung dalam membentuk karakter dan kapasitas bangsa. Realitas ini tidak bisa diabaikan begitu saja, apalagi saat kabar Indonesia hari ini banyak menyoroti kesenjangan akses layanan kesehatan mental.
Selain itu, keluarga memiliki peran sentral. Namun tidak semua keluarga memiliki pengetahuan untuk merawat kondisi emosional anak. Di banyak rumah, keluhan seperti “capek”, “sedih”, atau “cemas” justru dianggap kelemahan. Akibatnya, mental anak Indonesia sering tertekan oleh harapan tinggi sementara mereka tidak memiliki ruang untuk mengelola emosi. Orang tua pun terhimpit tekanan ekonomi, membuat komunikasi emosional cenderung dangkal. Di sini muncul kebutuhan untuk edukasi pola asuh yang lebih humanis dan penuh empati.
Media sosial juga menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, anak-anak memiliki akses ke informasi luas. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan budaya pembandingan tanpa akhir. Tingkat validasi diri bergantung pada jumlah likes, komentar, dan citra digital. Kondisi mental remaja Indonesia menjadi rentan karena narasi prestasi dan pencapaian sering ditampilkan tanpa sisi proses dan kegagalan. Anak-anak mudah merasa “tertunda” atau “gagal” sebelum memulai.
Sekolah sejatinya bisa menjadi ruang pemulihan, tetapi kurikulum yang padat dan orientasi nilai akademis sering menutup kesempatan untuk pendidikan emosional. Masih sedikit sekolah yang rutin membuat sesi konseling, pelatihan manajemen emosi, atau kelompok diskusi yang aman. Padahal, memperkuat mental anak Indonesia tidak kalah penting dibanding pembelajaran matematika atau bahasa. Pendidikan karakter hanya efektif jika kesehatan mental turut dirawat.
Di lapangan, beberapa komunitas mulai bergerak. Gerakan berbasis relawan menghadirkan ruang curhat, kelas seni, meditasi, dan aktivitas luar ruangan untuk anak-anak. Program seperti ini menunjukkan dampak positif anak lebih terbuka, lebih sadar diri, dan lebih mampu mengelola tekanan. Ini membuktikan, membangun kekuatan mental anak Indonesia tidak selalu membutuhkan anggaran besar, melainkan kemauan kolektif untuk peduli.
Mimpi Generasi Emas bukan utopia. Tetapi untuk mencapainya, bangsa ini perlu memandang kesehatan mental sebagai fondasi, bukan pelengkap. Perlu ada kolaborasi pemerintah, tenaga pendidik, orang tua, media, hingga komunitas akar rumput. Kita sedang berada pada jalan persimpangan: membiarkan krisis ini membesar, atau memilih merawat jiwa generasi sejak dini. Masa depan bangsa ada pada pundak mereka. Namun sebelum mereka memikul tanggung jawab, tugas kita memastikan pundak itu kuat dan tidak rapuh.
