Sejarah bangsa selalu menghadirkan momen penting yang menjadi fondasi persatuan, dan salah satu tonggak terbesarnya adalah sumpah pemuda. Pada 28 Oktober 1928, generasi muda menegaskan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Dari momentum itu, bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol persatuan yang menembus batas suku, budaya, dan wilayah. Spirit sumpah pemuda terus menguat hingga kini, menjadi penopang dalam membangun peradaban bangsa.
Bahasa Indonesia yang lahir dari tekad sumpah pemuda memiliki peran strategis dalam menyatukan lebih dari 700 bahasa daerah. Dengan satu bahasa nasional, masyarakat bisa saling terhubung tanpa hambatan linguistik. Inilah alasan mengapa para tokoh pergerakan menempatkan bahasa Indonesia di posisi utama, karena hanya melalui bahasa bersama cita-cita kemerdekaan dapat digemakan secara kolektif. Hingga hari ini, peran bahasa Indonesia masih relevan untuk membangun karakter bangsa yang berdaulat.
Memasuki era globalisasi, semangat sumpah pemuda kembali diuji. Arus teknologi digital membawa masuk berbagai bahasa asing ke ruang publik. Di sinilah tantangan menjaga identitas bahasa Indonesia sekaligus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Generasi muda diharapkan tidak sekadar bangga memakai bahasa asing, tetapi juga menjunjung tinggi bahasa persatuan. Momen peringatan sumpah pemuda setiap tahun menjadi refleksi, apakah kita masih setia pada janji para pendahulu untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama.
Kekuatan bahasa Indonesia tidak hanya terlihat dalam dunia pendidikan, tetapi juga di ruang kebudayaan. Film nasional, musik, hingga literasi digital semakin menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mampu merangkul seluruh lapisan masyarakat. Dari sinilah cita-cita besar menuju Indonesia emas 2045 dapat diwujudkan. Bahasa yang kokoh akan memperkuat narasi bangsa, membangun identitas, dan menumbuhkan kebanggaan nasional. Seperti halnya para pemuda di tahun 1928, generasi sekarang memiliki tugas melanjutkan api semangat persatuan.
Jika dilihat lebih jauh, penguatan bahasa Indonesia lewat sumpah pemuda juga memiliki dimensi politik dan sosial. Bahasa nasional menjadi alat perjuangan dalam menyampaikan aspirasi rakyat, memperjuangkan keadilan, serta menumbuhkan kesadaran kolektif untuk membangun bangsa. Tidak berlebihan bila dikatakan, tanpa bahasa Indonesia, cita-cita merdeka akan lebih sulit dicapai. Semangat inilah yang seharusnya terus dirawat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di ruang digital yang semakin mendominasi.
Di sekolah, kampus, maupun komunitas, nilai sumpah pemuda perlu terus ditanamkan. Bahasa Indonesia harus diposisikan sebagai sarana berpikir kritis, bukan sekadar komunikasi sehari-hari. Dengan bahasa yang baik dan benar, masyarakat akan lebih mudah memahami ilmu pengetahuan, menyusun strategi pembangunan, serta memperkuat daya saing global. Tidak bisa dipungkiri, bahasa adalah kunci transformasi sosial. Tanpa bahasa yang kokoh, sulit membayangkan bangsa ini dapat melangkah mantap menuju Indonesia emas.
Momentum sumpah pemuda selalu menjadi pengingat bahwa kekuatan bangsa bukan hanya pada sumber daya alam atau jumlah penduduk, melainkan pada persatuan dalam keragaman. Bahasa Indonesia sebagai perekat utama harus dijaga keberadaannya di tengah derasnya arus globalisasi. Bangga menggunakan bahasa Indonesia bukan berarti menolak bahasa asing, melainkan menempatkan bahasa persatuan pada posisi terhormat sesuai janji para pendiri bangsa. Dengan cara itu, warisan sumpah pemuda tetap hidup dan relevan di era modern.
Akhirnya, bahasa Indonesia bukan sekadar sarana tukar informasi, melainkan roh dari persatuan. Jika para pemuda 1928 mampu mengikrarkan janji bersama tanpa melihat perbedaan, maka generasi kini juga harus berani menjaga komitmen itu. Melalui penguatan bahasa Indonesia, kita bisa melangkah lebih kokoh, menjaga identitas nasional, dan membawa bangsa ini sejajar dengan negara maju lainnya. Semangat sumpah pemuda adalah fondasi untuk membangun masa depan gemilang, mengantarkan kita semua menuju Indonesia emas.
